Ada yang bisa kami bantu?
1) Penyebab/etiologi
Rabies dikenal sebagai salah satu penyakit infeksius neurotrofik pada mamalia termasuk manusia yang menyebabkan ensefalitis akut yang selalu diikuti dengan kematian ketika gejala klinis muncul. Agen penyebab rabies adalah Lyssavirus genotipe I atau serotipe 1-CVS (Challenge Virus Standar) pada famili Rhabdoviridae. Rabies ditularkan melalui gigitan hewan rabies. Virus berbentuk seperti peluru yang mengandung genom RNA utas tunggal. Lyssavirus rentan terhadap radiasi ultraviolet (Bano et al, 2016). Virus rabies mudah mati oleh sinar matahari dan sinar ultraviolet, pengaruh keadaan asam dan basa, zat pelarut lemak, misalnya ether dan kloroform, Na-deoksikolat dan air sabun. Oleh karena itu, sangat penting melakukan pencucian luka dengan menggunakan sabun sesegera mungkin setelah gigitan untuk membunuh virus rabies yang berada di sekitar luka gigitan (Kemenkes, 2017).
Gambar 1. Struktur virus rabies (Aryal 2022)
Struktur virus rabies dikelilingi oleh amplop membran lipid (membrane lipid envelope), permukaan terluar virion ditutupi oleh spike (seperti paku) yang panjangnya 10 nm. Spike merupakan trimer glikoprotein yang berperan sebagai reseptor yang akan berikatan dengan sel inang. RNA genom dari virus tersusun dari 5 protein yaitu glikoprotein (G), nukleoprotein (N), fosfoprotein (P), protein matriks (M) dan protein polimerase besar (L) (Aryal 2022).
Virus rabies dapat bertahan selama 30 menit pada suhu 56 °C dan pemanasan kering mencapai suhu 100 °C masih dapat bertahan selama 2-3 menit. Di dalam air liur dengan suhu udara panas dapat bertahan selama 24 jam. Virus rabies sangat labil pada suhu panas dengan masa paruh hidupnya 4 jam pada suhu 40 °C dan 35 detik pada suhu 60 °C. Dalam keadaan kering beku dengan penyimpanan pada suhu 4 °C virus dapat bertahan selama bertahun-tahun, hal inilah yang menjadi dasar mengapa vaksin anti rabies harus disimpan pada suhu 2-8 °C. Pada dasarnya semakin rendah suhunya semakin lama virus dapat bertahan (Kemenkes, 2017).
Rabies merupakan penyakit fatal yang disebabkan virus yang menyerang sistem syaraf pusat manusia dan hewan mamalia lainnya dengan mortalitas 100%. Virus rabies biasanya terdapat pada air liur serta jaringan syaraf (otak dan sel syaraf) hewan yang tertular rabies dan biasanya ditularkan melalui perlukaan dan gigitan hewan yang terinfeksi rabies. Gigitan dari hewan yang terinfeksi adalah rute yang paling penting dan paling sering terjadi dalam proses penularan rabies. Virus yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan akan bereplikasi dalam otot atau jaringan ikat pada tempat inokulasi dan kemudian memasuki syaraf tepi pada sambungan neuromuskular dan menyebar sampai ke sistem syaraf pusat (Department of Health Republic Philippines, 2019).
Virus bereplikasi pada sel otot (miosit atau masuk langsung ke syaraf tanpa bereplikasi di miosit). Ada kemungkinan virus rabies bertahan secara lokal pada sisi inokulasi selama periode waktu tertentu. Hal ini dapat menjelaskan panjangnya masa inkubasi pada beberapa infeksi rabies. Virus kemudian penetrasi ke sel syaraf tepi melalui serapan virus pada ujung syaraf. Virus ditransportasikan melalui serabut syaraf sensoris dan motoris ke sistem syaraf pusat. Studi secara invitro menunjukkan kecepatan transportasi virus axonal berkisar antara 25 s.d 50 mm per hari. Penyebaran virus rabies kolomometer dan syaraf optik secepat 12 mm/hari. Saat virus mencapai sistem syaraf pusat, replikasi rabies terutama terjadi pada sel neuron atau otak melalui tunas virus kemudian virus menyebar dan menginfeksi sel sekitar sel otak. Penyebaran melalui cairan serebrospinal terjadi pada tahap akhir infeksi. Ketika penyebaran virus terjadi di dalam sistem syaraf pusat, virus rabies menyebar ke jaringan perifer seperti serabut otot, kelenjar saliva, kornea, medula adrenalis, kelenjar lakrimalis, miokardium, ginjal, paru-paru, pankreas dan epidermis. Infeksi dari kelenjar saliva memungkinkan penularan penyakit lebih lanjut ke mamalia lain (Department of Health Republic Philippines 2019).
Gambar 2 . Patogenesa dan penyebaran rabies dari bagian gigitan ke otak/bagian tubuh lainnya (Shite dkk 2015)
2) Gejala Klinis
Kasus rabies meningkat ketika masa musim kawin anjing. Gejala klinis yang muncul pada hewan ada 2 bentuk. Gejala dapat muncul sebagai rabies ganas yang mana terjadi perubahan perilaku menjadi gelisah, mengembara tanpa tujuan, menggigit hewan apapun, manusia atau benda lain. Terkadang terjadi paralisis/lumpuh pada tenggorokan dan kaki lalu mati. Gejala juga terlihat sebagai rabies tenang yang mana perubahan perilakunya menjadi menarik diri, mencoba bersembunyi, kesulitan menelan dan mati setelah beberapa hari tanpa pernah menjadi ganas. Semua hewan tidak memiliki perilaku yang sama ketika terkena rabies. Hewan yang menunjukkan perilaku yang tidak biasanya seharus dianggap berpotensi bahaya rabies terhadap manusia (CCOHS, 2020).
Anjing rabies sangat agresif dan menyerang manusia, hewan atau apapun yang bergerak di dekatnya karena diprovokasi. Tidak seperti kucing, peranan pentingnya dalam transmisi rabies pada manusia di Bali, karena kucing umumnya tidak menggigit, tetapi cenderung mencakar, serta virus yang dikeluarkan melalui cakaran tidak sebanyak pada anjing dan hanya bertahan dalam waktu kurang dari 3 hari. Meskipun virus dapat ditularkan melalui cakaran tetapi jumlah kasusnya rendah sekitar 3,7%, bahkan virus dalam saliva yang mencemari cakarnya, kadarnya 50 kali lebih rendah. Jika virus pada cakar yang terkontaminasi saliva, tidak segera masuk ke tubuh korban, akan menjadi inaktif atau mati karena suhu lingkungan atau paparan sinar ultraviolet matahari. Kelelawar dan monyet tidak berperan penting dalam penularan rabies karena ekologi yang berbeda dimana anjing sebagai hewan kesayangan sangat dekat dengan manusia. Sama halnya dengan vektor serangga tidak menularkan rabies, karena virus rabies tidak menyebabkan viremia (Santhia & Sudiasa 2019).
Panjangnya masa inkubasi tergantung pada beberapa faktor seperti dosis virus rabies dalam saliva ketika menggigit korban, lokasi dan keparahan luka gigitan anjing dan perlakuan pasca gigitan. Pada hewan, periode inkubasi tergantung pada spesies hewan. Pada anjing normalnya berkisar antara 14 dan 60 hari tetapi bisa lebih panjang waktunya (CCOHS 2020). Menurut William et al. (2023), inkubasi pada anjing khususnya 2 minggu hingga 4 bulan. Kecepatan munculnya gelaja klinis tergantung pada sisi/bagian infeksi (gigitan yang dekat dengan otak dan medulla spinalis, virus lebih cepat mencapai jaringan syaraf), keparahan gigitan, jumlah virus yang masuk melalui gigitan. Penyebaran virus rabies di dalam tubuh hospes sulit dihentikan karena kecepatan penyebarannya tiga milimeter per jam. Terkait dengan hal itu, masa inkubasi rabies dapat mencapai 1 tahun tergantung dari lokasi gigitan. Makin jauh lokasi gigitan dari kepala, maka masa inkubasi rabies akan semakin lama, begitu pula sebaliknya. Di Kanada, rabies juga ditemukan pada serigala, coyote dan hewan pemakan daging. Jarang ditemukan pada tikus, marmot tanah, kelinci, hamster atau gerbil, jadi gigitan mereka biasanya tidak berisiko rabies (CCOHS, 2020).
3) Diagnosa
Menurut OIE (2018), tidak adanya gejala klinis atau lesio post-mortem yang dianggap patognomonis pada hewan domestik maupun liar, diagnosa rabies bergantung pada pengujian laboratorium. Pengujian serologis tidak digunakan pada diagnosa ante-mortem karena lamanya serokonversi dan tingginya angka kematian pada spesies inang, tetapi pengujian serologis sangat berguna untuk menilai serokonversi setelah vaksinasi dan kajian epidemiologi (OIE 2018).
Pengujian laboratorium yang dapat digunakan untuk mendeteksi antigen rabies adalah uji DFA (Direct Fluorescent Antibody), dRIT (Direct rapid immunohistochemistry test), ELISA antigen, isolasi virus (kultur sel/hewan coba), identifikasi histologi dari lesio sel, PCR, sedangkan uji serologis berupa VNT (Virus Neutralisation Test) pada sel kultur dan ELISA antibodi. ELISA komersial telah direkomendasikan untuk memantau kampanye vaksinasi rabies pada serigala dan rakun (OIE 2018). Pengujian secara mikroskopis untuk melihat dan menemukan badan negri yakni dengan pewarnaan cepat Sellers, FAT dan histopatologik.
4) Pengendalian
Di Indonesia termasuk negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Selatan, anjing adalah hewan penyebab rabies utama pada manusia sekitar 94-99% sedangkan kejadian rabies di negara-negara Eropa, Amerika dan Kanada ditularkan melalui gigitan hewan liar seperti serigala, rakun, rubah, skunk. Di Indonesia, korban tewas akibat rabies selama 6 tahun (2008-2013) tercatat 835 orang. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan hingga saat ini terdapat 1931 kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) di Kalimantan Barat (Kalbar) sepanjang Januari hingga Juni 2023, dimana 11 orang diantaranya meninggal dunia (CNN Indonesia, 2023). Berdasarkan distribusi tingkat risiko manusia terinfeksi rabies tahun 2013 (WHO), risiko tertinggi adalah Asia dan Afrika, risiko sedang dan rendah adalah Eropa, Amerika Selatan dan Tengah, Amerika Utara dan Australia, sedangkan yang tidak memiliki risiko adalah Jepang dan Selandia Baru (Kemenkes 2017).
Meskipun vaksinasi telah dilakukan, jika cakupan vaksinasi tidak optimal 100%, maka anjing yang tidak divaksinasi adalah faktor risiko penularan virus rabies pada manusia. Anjing yang berada pada masa inkubasi akan terlihat sehat, tetapi mengeluarkan virus melalui saliva, khususnya pada fase preklinis, beberapa hari sebelum gejala muncul. Bahkan ada seekor anjing yang terinfeksi virus rabies (strain Ethiophia street) kapan saja dapat mengeluarkan virus dalam saliva selama 305 hari setelah sembuh (Santhia & Sudiasa 2019).
Upaya penanggulangan rabies yang efektif saat ini terbatas pada vaksinasi rabies pada reservoir atau Hewan Pembawa Rabies (HPR). Upaya lainnya adalah pembatasan populasi reservoir atau HPR yaitu dengan mengurangi jumlah anjing liar yang berkeliaran di lingkungan. Kementerian kesehatan yang bertanggung jawab terhadap kesehatan manusia, memiliki sepuluh langkah strategis untuk menuju Indonesia bebas rabies yaitu (a) sosialisasi; (b) penguatan regulasi; (c) komunikasi risiko; (e) vaksinasi massal pada HPR; (f) manajemen populasi HPR; (g) profilaksis pra/paska gigitan HPR (PEP); (h) surveilans dan respon terpadu; (i) penelitian operasional dan (j) kemitraan (Novita 2019).
Menurut DTPHP Provinsi Jambi (2023), program pengendalian rabies sudah berjalan cukup lama, bahkan ada lokus pemberantasan rabies di beberapa Kabupaten di Provinsi Jambi. Salah satu lokus tersebut adalah Kota Sungai Penuh yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Kerinci. Ada sebutan yang dikenal sebagai Kasira singkatan dari Kolaborasi Siaga Rabies dimana melibatkan aparat desa, Dinas terkait, Posyandu, Kamtibnas, RT, lurah maupun warga setempat sesuai dengan SK Walikota Sungai Penuh. Kasira berperan dalam syi’ar rabies yang memberikan informasi terkait rabies kepada Masyarakat. Penanganan manusia yang terkena gigitan HPR sudah berjalan cukup baik karena pemerintah daerah telah menyediakan Rabies Center di beberapa titik di masing-masing wilayah Kabupaten. Rabies Center ini berperan dalam memberikan VAR kepada korban gigitan HPR sesegera mungkin. Data populasi HPR di Provinsi Jambi berjumlah 68.832 ekor (DTPHP 2023).
Eliminasi HPR merupakan salah satu bentuk pengendalian populasi HPR dalam memberantas rabies. Sejak terbitnya aturan terkait Kesrawan yang melarang dilakukannya eliminasi maka kegiatan eliminasi anjing-anjing liar sudah tidak dilakukan lagi. Hal ini menyebabkan jumlah populasi anjing-anjing liar semakin bertambah dan diperkirakan dapat menjadi sumber penularan rabies ke hewan dan manusia di sekitarnya.
KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) menjadi salah satu program pengendalian rabies selain vaksinasi. KIE dapat berupa sosialisasi kepada masyarakat mengenai penyakit rabies, cara penanganan pertama jika tergigit HPR, dan mekanisme pelaporan untuk mendapatkan VAR. Penanganan pertama apabila digigit HPR adalah cuci luka dengan sabun dan air mengalir selama 15 menit.
DAFTAR PUSTAKA
Aryal S. 2022. Rabies Virus-An Overview. Microbe Notes. Rabies Virus- An Overview (microbenotes.com). [18 Februari 2024]
Bano et al. 2016. A Review of Rabies Disease, its Transmission and Treatment. Journal of Animal Health and Production 16: 140-142.
[CCOHS] Canadian Centre for Occupational Health and Safety. 2020. Disease, Disorder and Injuries.
Department of Health Republic Philippines. 2019. National Rabies Prevention and Control Program. Philippines: Department of Health Republic Philippines.
[OIE] Office International des Epizooties. 2018. Rabies (Infection with Rabies Virus and Other Lyssaviruses. OIE Terrestrial Manual 2018.
[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Petunjuk Teknis Surveilans Epidemiologi Rabies pada Manusia di Indonesi. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Novita Q. 2019. Pemberantasan Rabies di Indonesia sebagai upaya mewujudkan Right to Life, Right to Health. BALABA. Vol 15 (2): 151-162.
Santhia K & Sudiasa W. 2019. Human Rabies Epidemiology in Bali, Indonesia. International Journal of Health & Medical Science. Vol 2(1): 7-16.
Shite A, Tadesse G, Bimrew A. 2015. Challenges of Rabies. International Journal of Basic and Applied Virology 4(2): 41-52.
William K, Hunter T, Ward E. 2023. Rabies in Dogs. Canada: VCA Animal Hospital. https://vcahospitals.com/know-your-pet/rabies-in-dogs#:~:text=If%20rabies%20is%20suspected%2C%20the,the%20dog%20will%20be%20observed. [05 Mei 2023].